I.
Fungsi agama
A. Fungsi
Agama Dalam Masyarakat
Ada
beberapa alasan tentang mengapa agama itu sangat penting dalam kehidupan
manusia, antara lain adalah:
ยท
Karena agama merupakan
sumber moral.
ยท
Karena agama merupakan
petunjuk kebenaran.
ยท
Karena agama merupakan
sumber informasi tentang masalah metafisika.
ยท
Karena agama memberikan
bimbingan rohani bagi manusia baik di kala suka, maupun di kala duka.
Manusia sejak dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan
lemah dan tidak berdaya, serta tidak mengetahui apa-apa sebagaimana firman
Allah dalam Q. S. An-Nahl 16:78
โAllah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam
keadaan tidak tahu apa-apa. Dia menjadikan untukmu pendengaran, penglihatan dan
hati, tetapi sedikit di antara mereka yang mensyukurinya.
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya.โ
Dalam keadaan yang demikian itu, manusia senantiasa dipengaruhi oleh berbagai macam godaan dan rayuan, baik dari dalam, maupun dari luar dirinya.โ
Fungsi agama
dibagi menjadi tiga aspek, yaitu kepribadian, sistem sosial, dan kebudayaan.
Fungsi agama adalah sebagai penyelamat, perdamaian, sosial kontrol, memberikan ajaran-ajaran
mengenai kehidupan di dunia maupun akhirat, mendorong manusia untuk memiliki kepribadian yang baik, mengajarkan
bagaimana bersosialisasi dengan masyarakat sesuai dengan aturan-aturan dalam agama.
B. Dimensi
Komitmen Agama
Perkembangan iptek mempunyai konsekuensi penting
bagi agama. Sekulerisai cenderung mempersempit ruang gerak
kepercayaan dan pengalaman keagamaan. Kebanyakan agama yang menerima nilai-
nilai institusional baru adalah agama-agama aliran semua aspek kehidupan.
Dimensi komitmen agama menurut Roland Robertson:
Dimensi komitmen agama menurut Roland Robertson:
1. Dimensi keyakinan mengandung
perkiraan/harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis
tertentu.
2. Praktek agama mencakup
perbuatan-perbuatan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama
secara nyata.
3. Dimensi pengerahuan, dikaitkan
dengan perkiraan.
4. Dimensi pengalaman memperhitungkan
fakta, semua agama mempunyai perkiraan tertentu.
5. Dimensi konsekuensi dari komitmen
religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan.
II.
Pelembagaan agama
A. Tiga
tipe kaitan agama dengan masyarakat
Agama memiliki tiga (3) tipe hubungan dengan
masyarakat diantaranya (menurut Elizabeth K. Nottingham)
ยท Masyarakat Pedalaman
Di
dalam kehidupan masyarakat pedalaman agama masih berdasarkan kepercayaan
sehingga mereka mengadakan berbagai upacara ritual karena mereka percaya dengan
begitu mereka sudah memiliki agama.
ยท Masyarakat Semi Industri
Di
dalam masyarakat semi industri sudah lebih maju dari masyarakat pedalaman
sehingga di masyarakat semi indutri sudah memegang agama sebagai kepecayaan dan
sebagai pedoman dalam melakukan segala hal seperti berdagang.
ยท Masyarakat Industri Sekunder (Modern)
Di
dalam masyarakat industri sekunder sudah banyak muncul teknologi canggih
sehingga lebih mudah menolong kegiatan manusia, namun karena sudah banyak
teknologi maka agama menjadi di โno duakanโ sehingga kurangnya kepercayaan
terhadap agama.
B. Pengertian
Perlembagaan Agama
Pengertian pelembagaan agama itu
sendiri ialah apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi
struktur agama. Dimensi ini mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh kepercayaan
di dalam kehidupan sehari-hari.
Ada 3 tipe kaitan agama dengan masyarakat,
diantaranya :
1. Masyarakat dan nilai-nilai sakral.
2. Masyarakat-masyarakat pra industri yang sedang berkembang.
3. Masyarakat-masyarakat industri sekuler.
1. Masyarakat dan nilai-nilai sakral.
2. Masyarakat-masyarakat pra industri yang sedang berkembang.
3. Masyarakat-masyarakat industri sekuler.
C. Agama, Konflik dan Masyarakat
Secara sosiologis, Masyarakat
agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural
dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak
dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang
berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini
merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti
mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama
lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh
M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi
berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian
yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka
keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut
Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena
manusia dalam keadaan involved (terlibat).
Sebagai seorang muslim misalnya,
ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun,
Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex
yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah
realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan
mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.
Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh
pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok
agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan
kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan
kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan
sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga
terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang
didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana
tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok
agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan
kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk
agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas
dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama
dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir
kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara
perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada
ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini
kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan
kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial
bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Hal ini lah yang dilihat sebagai
masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan
tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama
dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan
analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis
sosiologis: teori konflik.
โ Konflik
yang ada dalam Agama dan Masyarakat
Di beberapa wilayah, integritas
masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama
terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan,
kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil
saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan
berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.
-
Pengalaman tokoh agama yang merupakan pengalaman
kharismatik, akan melahirkan suatu bentuk perkumpulan keagamaan yang akan
menjadi organisasi keagamaan terlembaga.
-
Pengunduran diri atau kematian figure
kharismatik akan melahirkan krisis kesinambungan. Analisis yang perlu adalah
mencoba memasukkan struktur dan pengalaman agama, sebab pengalaman agama,
apabila dibicarakan, akan terbatas pada orang yang mengalaminya.
-
Lembaga keagamaan pada puncaknya berupa
peribadatan, misalnya pada kewajiban ibadah haji dan munculnya organisasi
keagamaan.
Source:
Komentar
Posting Komentar